Jakarta, Beritasatu.com – Di tengah perang dagang dan tensi global yang terus berubah, Indonesia dinilai perlu memiliki strategi pembangunan ekonomi yang terukur dan tidak sepenuhnya berpihak pada satu kekuatan besar, seperti Amerika Serikat (AS) maupun China.
Hal ini disampaikan oleh Ibrahim Kholilul Rohman, dosen Universitas Indonesia sekaligus acting head of IFG Progress dalam Investor Daily Round Table (IDRT) 2025 di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (30/4/2025)
Menurut Ibrahim, Indonesia bisa bertahan (survive) dalam dinamika global saat ini hanya jika memiliki tujuan yang jelas dan strategi yang spesifik dalam pembangunan nasional.
Ia menekankan pentingnya memilih pendekatan yang seimbang dan tidak terjebak dalam rivalitas antara dua kekuatan ekonomi utama dunia tersebut.
“Kalau menurut saya, kita tidak bisa terlalu condong ke China karena standar teknologi global banyak dikendalikan oleh AS,” ujar Ibrahim, Rabu (30/4/2025).
Ia menambahkan, meninggalkan AS secara penuh bukanlah opsi realistis, mengingat keterkaitan Indonesia dengan AS dalam berbagai aspek, termasuk regulasi teknologi dan perdagangan global.
Di sisi lain, Ibrahim mengakui bahwa kontribusi nyata China terhadap ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir tidak bisa diabaikan.
Menurutnya, China secara strategis menjaga hubungan dagang dengan Indonesia, sekaligus menunjukkan intensi untuk mempertahankan harmoni kawasan Asia melalui kekuatannya di sektor manufaktur dan teknologi seperti 5G.
“Kontribusi China ke Indonesia itu sangat besar. Mereka sangat strategis menjaga hubungan dagang dan pengaruhnya terasa di berbagai sektor,” ujarnya.
Namun, Ibrahim menekankan pentingnya pemilahan sektor secara cermat, agar Indonesia tahu sektor mana yang harus diperkuat bersama AS, dan mana yang bisa terbuka pada kerja sama dengan China.
Ia menilai tidak mungkin Indonesia sepenuhnya bergeser dari salah satu pihak tanpa mengorbankan kepentingan nasional.
“Tidak mungkin kita tinggalkan AS, karena ada sektor-sektor yang ekspornya tinggi ke sana. Maka dari itu, kita butuh strategi negosiasi yang cerdas dan terukur,” katanya.
Ibrahim menegaskan bahwa strategi arah kebijakan ekonomi Indonesia harus berdasarkan kepentingan jangka panjang dan posisi strategis negara dalam rantai pasok global, bukan hanya pada tekanan yang sifatnya sementara.